Akan kuingat selalu
Ade Irma Suryani
Waktu dipeluk dipangku
ibu
Dengan segala kasih
Kini ia terbaring di
pangkuan Tuhan
Senang dan bahagia
hatinya
Kini ia terlena
tertidur terbaring
Nyenyak di pelukan Tuhannya
Lagu Ade Irma Suryani ini adalah salah satu
persentuhan awal saya dengan hal-hal yang berhubungan dengan Partai Komunis
Indonesia atau PKI. Lagu yang saya pelajari saat saya duduk di Taman
Kanak-Kanak. Lagu yang diajarkan dengan diiringi penjelasan mengenai siapa Ade
Irma tersebut dan bagaimana PKI yang membunuh seorang anak kecil yang tidak
berdosa seperti kami kala itu. Pembunuhan yang terjadi karena PKI hendak
menculik ayah dari gadis kecil tersebut, Jenderal Nasution.
Sekarang sudah 20 tahun
berlalu sejak saya mempelajari lagu tersebut dan PKI masih menjadi momok bagi
banyak orang Indonesia. Baru bulan Desember 2014 ini ada banyak berita mengenai
pelarangan bahkan sampai penyerangan ketika ada pemutaran film Senyap (The Look of Silence). Film
yang disutradari oleh Joshua Oppenheimer ini bercerita tentang seorang adik
dari korban pembantaian peristiwa 1965 di Sumatera Utara, Adi Rukun. Ia
mendatangi orang-orang yang bertanggung jawab pada pembunuhan Ramli, kakaknya.
Pembunuhan yang dalam film tersebut dideskripsikan secara mendetail oleh para
pelakunya, pelaku yang mengenal korban, menyebutkan namanya, bahkan
merekonstruksi ulang saat-saat terakhir Ramli ketika meregang nyawa dan
bagaimana mereka melemparnya ke Sungai Ular bersama ratusan korban lainnya.[1]
Film tersebut kemudian dilarang diputar di banyak tempat karena masih adanya
ketakutan akan bahaya laten komunis yang dikhawatirkan akan muncul kembali.
Banyak orang yang masih
beranggapan bahwa PKI merupakan pihak yang sepenuhnya bersalah akan Gerakan 30
September 1965 tersebut dan pantas untuk dihabisi. Bahkan ada orang-orang yang
masih merasa menjadi pahlawan atas tidakannya membunuh para anggota PKI
tersebut untuk tindakannya membela negara dan agama. Sebagai orang Indonesia
saya pun mengadopsi dan memiliki pandangan yang sama dengan apa yang menjadi
pandangan umum selama ini. Saya memiliki pandangan bahwa PKI selama ini adalah
pihak yang bersalah dan secara tidak langsung saya membenarkan pembantaian yang
terjadi pada PKI dan banyak orang yang dianggap terlibat di dalamnya. Saya
selama ini beranggapan bahwa pembantaian yang terjadi pada PKI tersebut terjadi
karena adanya perebutan dan perselisihan politik di Indonesia belaka.
Perubahan pandangan
kemudian terjadi ketika saya mulai menjadi mahasiswa Pascasarjana Ilmu Religi
dan Budaya. Saya mulai banyak mempelajari buku-buku yang memberikan pandangan
yang lebih luas mengenai apa yang terjadi pada masa itu. Saya juga disadarkan
akan adanya wacana yang lebih besar yang melatarbelakangi peristiwa G30S
tersebut. Salah satu buku yang yang membuka pandangan saya mengenai apa yang
terjadi pada 1965 tersebut adalah buku 1965
Indonesia dan Dunia, buku ini memberi suatu pandangan baru akan konstelasi
yang lebih besar yang terjadi atas Indonesia dan mencoba merekonstruksi
padangan lama akan narasi tunggal pemerintah Orde Baru mengenai peristiwa itu.
Keinginan untuk menyusun
kembali pandangan mengenai Gerakan 30 September (G30S) inilah yang mendasari
disusunnya buku yang berjudul “1965,
Indonesia dan Dunia”. Buku yang berisi beberapa artikel dari 12 penulis
dengan berbagai latar belakang ini dikumpulkan dan diedit oleh Bernd Schaefer.
Schaefer sendiri adalah seorang cendekiawan senior pada proyek Sejarah Perang
Dingin Internasional di Woodrow Wilson International Center du Washington D.C.,
Amerika Serikat.[2]
Dalam pengantarnya ia menjelaskan bahwa buku ini diawali dengan diadakannya
sebuah konsorsium mengenai peristiwa G30S pada tahun 2011. Konsorsium yang
didasari dengan pemikiran untuk mendekonstruksi dan merekonstruksi kembali
pandangan dan pemikiran seputar peristiwa G30S. Memberikan pandangan lain dari
narasi besar yang dipropagandakan oleh tentara Indonesia selama ini.
Indonesia
dan Dunia, Sudut Pandang Lain Indonesia 1965
Indonesia merupakan
suatu negara besar dengan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang sangat
besar. Salah satunya kekayaan yang dimiliki Indonesia adalah 20 miliar barel
minyak yang terdapat di dalam bumi Indonesia.[3]
Hal ini membuat Indonesia menjadi suatu area yang dianggap sangat berharga bagi
Amerika. Kekayaan sumber daya alam, peran Indonesia atau Soekarno yang besar di
kawasan Asia dan Afrika, dan posisinya yang strategis membuat banyak negara
berlomba-lomba mendapatkan simpati dan keberpihakan Indonsesia dengan berbagai
cara. Keberadaan Indonesia ini pula membuat Indonesia menjadi perebutan dua
ideologi yang berkuasa pada saat itu, Amerika dan Uni Soviet, kapitalisme dan
komunisme.
Indonesia sendiri
sebagai negara yang baru merdeka masih mencari identitasnya sendiri. Hal ini
tercermin dari konstelasi politik yang ada di Indonesia dan kebijakan-kebijakan
yang diambil oleh presiden Soekarno selama tahun-tahun tersebut. Salah satu hal
yang menunjukkan kebijakan politik tersebut adalah dengan diselenggarakannya
Konfrensi Asia Afrika yang diprakarsai oleh Soekarno dengan mengundang para
pemimpin negara-negara dari Asia dan Afrika. Hal ini menjadi pernyataan akan
posisi dari negara-negara dunia ketiga tersebut sebagai kekuatan politik baru
yang tidak memihak baik Amerika maupun Uni Soviet.[4]
Keseimbangan dan posisi
netral yang ditunjukkan dan dipertahankan oleh Soekarno selama bertahun-tahun
ini kemudian mulai goyah. Soekarno dianggap semakin dekat dengan komunis.
Kebijakan-kebijakan yang diambilnya terasa semakin merugikan bagi keberadaan
Barat di Indonesia. Kebijakan-kebijakan Soekarno kala itu membuatnya semakin
tidak populer di mata dunia Barat. Pada tahun 1959, Soekarno mendeklarasikan
sistem pemerintahan Indonesia yaitu Demokrasi Terpimpin, perubahan kebijakan
yang mengindikasikan pemerintahan yang diktaktor. Pada tahun-tahun tersebut Soekarno
juga berencana untuk melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di
Indonesia seperti U.S. Rubber Company dan Goodyear. Selain itu keberpihakan
Soekarno kepada Cina dan Uni Soviet juga menjadi kekhawatiran sendiri bagi
negara-negara Barat. Penentangan Soekarno akan Barat semakin terlihat ketika ia
menentang pembentukan Federasi Malaysia dan menyatakan diri keluar dari PBB.
Di sisi lain, di mata
negara-negara komunis pun Soekarno juga tidak populer. Soekarno banyak
mendapatkan bantuan keuangan dari pihak Uni Soviet, bantuan yang kala itu
digunakan untuk membiayai pembangunan Stadion Senayan yang sangat megah. Stadion
dengan kapasitas 100.000 orang dan memiliki pembangkit listrik sendiri saat
masih banyak rakyat Indonesia berada dalam konsisi melarat karena kondisi
ekonomi yang terus memburuk. Selain itu bantuan tersebut juga digunakan
Soekarno untuk membiayai operasi militer ke Irian Barat dan menentang
pembentukan Federasi Malaysia. Uni Soviet menganggap bantuan keuangan yang
diberikannya pada Indonesia adalah suatu investasi yang buruk, padahal bantuan
yang diberikan kepada Indonesia adalah bantuan dengan jumlah terbesar daripada
yang diberikan Uni Soviet kepada negara lain.[5]
PKI yang semakin mengikuti aliran Maois dari Cina juga membuat Indonesia
semakin tidak populer di mata Uni Soviet, walaupun mereka terus menggelontorkan
bantuan sebagai kebijakan luar negeri mereka kepada banyak negara dunia ketiga.
Uni Soviet berharap bantuan yang terus mereka gelontorkan akan diganti dengan
kesetiaan negara-negara tersebut kepada mereka.
Di luar
kebijakan-kebijakan yang diambil Soekarno kala itu, konstelasi politik dalam
negeri juga tidak dalam kondisi baik-baik saja. Ada tiga kekuatan besar yang
berusaha mencari keseimbangan dan saling memperebutkan kekuasaan di Indonesia.
Soekarno sendiri sebagai presiden Republik Indonesia, Angkatan Darat, dan
Partai Komunis Indonesia. PKI sendiri kala itu menjadi kekuatan yang suadah
begitu masif. Partai ini sudah menjadi partai komunis terbesar di Asia di luar
Cina.[6]
Dalam pemilu tahun 1955, PKI mendapatkan suara terbesar keempat dan terus
membesar. Perolehan suara yang terbilang besar kala itu yaitu 16% mengingat
partai pemenang dengan suara terbanyak memperoleh suara sebesar 22%.[7]
Keberadaan PKI yang
semakin kuat ini diperkuat oleh pernyataan Aidit yang mengklaim bahwa mereka
memiliki dukungan sebesar 3,5 juta anggota di Indonesia walaupun hanya
mengumumkan anggota mereka hanya sebesar 2,5 juta orang. Pernyataan yang
diungkapkan Aidit kepada Kurt Hanger, anggota politbiro komunis Jerman Timur.[8]
Posisi PKI ini memperbesar kekhawatiran Angkatan Darat akan posisi mereka
sendiri, mereka khawatir PKI akan menghancurkan mereka. Hal ini juga
memperbesar sentimen antikomunis di kalangan Angkatan Darat, Nasionalis, dan
anggota partai-partai politik yang berbasiskan agama.[9]
Keseimbangan yang semakin berada di ujung tanduk kala itu karena kondisi
kesehatan Soekarno yang semakin menurun yang mengindikasikan akan adanya
pergantian kekuasaan di Indonesia.
Sedangkan keberadaan
Angkatan Darat sendiri di Indonesia juga sudah seperti negara di dalam negara.[10]
John Roosa menjelaskan lebih lanjut dalam tulisannya “Merencanakan Pembunuhan
Massal, Melemparkan Tuduhan Palsu pada Komunis” dengan mendeskripsikan
bagaimana pada tahun-tahun tersebut para Perwira Angkatan Darat banyak yang
menduduki posisi birokrasi sipil. Selain itu tentara juga memiliki perkebunan,
pabrik, perusahaan perdagangan dan mereka mengambil keuntungan dari usaha-usaha
tersebut untuk membiayai operasional mereka sendiri. Bahkan pada masa itu
tentara memiliki surat kabar mereka sendiri. Keistimewaan yang dilindungi dan
didanai oleh Menteri Pertahanan sendiri, Jenderal Nasution.
Ketiga kekuatan besar di
dalam perpolitikan Indonesia ini membentuk suatu relasi kekuasaan yang tidak
stabil. Soekarno mengandalkan tentara karena kekuatan militer yang mereka
miliki, dan mengandalkan PKI karena jumlah massa yang dimiliki oleh partai ini.
Pada saat yang sama tentara dan PKI juga mengandalkan Soekarno sebagai
penyeimbang dari pihak lawan. Kondisi ini semakin mempertajam konflik antara
PKI dan tentara selain juga memperbesar kekuatan keduanya.[11]
Di tengah silang
sengkarut perpolitikan Indonesia dan dunia inilah Gerakan 30 September terjadi.
Narasi tunggal yang selama ini dibicarakan adalah narasi yang dimunculkan oleh
Presiden Soeharto. Suatu Narasi yang disusun oleh Nugroho Notosusanto yang
diawali dengan tulisannya yang berjudul 40
Hari Kegagalan G30S buku yang terbit dalam kurun waktu kurang dari dua
bulan sejak peristiwa tersebut terjadi.[12]
Narasi pemerintah Orde Baru ini menyatakan bahwa PKI melakukan kudeta dengan
menculik dan membunuh keenam Jenderal tersebut dan pembantaian massal
sesudahnya hanyalah merupakan reaksi belaka karena rakyat marah akan pembunuhan
para jenderal tersebut.[13]
Narasi alternatif baru muncul kemudian ketika kekuasaan Soeharto mulai memudar
bahkan dilengserkan pada 1998.
Titik berat di mana kita
seharusnya memandang mengenai masalah ini sebenarnya bukanlah pada kejadian
dini hari pada 1 Oktober tahun 1965 tersebut. Titik pandang kita sekarang
seharusnya adalah pada bulan-bulan setelah peristiwa tersebut terjadi. Presiden
Soekarno pada suatu pidatonya yang disisarkan oleh media Australia menyatakan
bahwa ada 87.000 korban tewas pada periode 3 bulan sejak 1 Oktober sampai
Desember 1965.[14]
Jumlah yang sangat kecil dibandingkan dengan pemberitaan dan penemuan-penemuan
selanjutnya. Diperkirakan ada 500.000 sampai 1.000.000 nyawa sipil yang
melayang dalam waktu yang begitu singkat, dan hal itu terjadi pada masa damai.
Pembunuhan yang dilakukan oleh saudara sebagsanya sendiri. Lalu bagaimana dunia
memandang dan menanggapi pembantaian yang terjadi tersebut? Pantaskah kematian
6 jenderal dibayar dengan kematian dan pembantaian yang sebegitu besar? Belum
lagi keluarga korban yang harus hidup dengan stigma sebagai anggota PKI sampai
saat ini. Stigma yang membuat mereka tidak mendapatkan hak yang sama sebagai
warga negara.
Dunia
Memandang Indonesia 1965
Dunia memunculkan reaksi
yang menurut saya cukup seragam dalam memandang peristiwa G30S ini. Dalam buku Indonesia dan Dunia yang saya bahas ini
mengungkapkan reaksi dari beberapa negara yang kala itu terlibat erat dengan
Indonesia. Tiga negara besar yang tidak dapat dilepaskan dari konstelasi
perpolitikan Indonesia kala itu adalah Amerika, Uni Soviet, dan Cina. Berikut
saya akan mencoba menguraikan satu demi satu bagaimana relasi, reaksi, bahkan
mungkin peran negara-negara tersebut bagi Indonesia.
Amerika atau CIA adalah
salah satu negara yang disebut dengan sangat keras memiliki kepentingan bahkan
dianggap sebagai dalang dari peristiwa terebut. Keterlibatan Indonesia sendiri
dalam pemerintahan di Indonesia sebenarnya sudah cukup lama. Amerika sudah
sejak tahun 1950-an terlibat dan membiayai pemberontakan PRRI di Sumatera. Hal
ini merupakan salah satu usaha Amerika untuk menciptakan suatu rezim
antikomunis yang dipimpin oleh militer. Peristiwa yang terjadi pada dini hari 1
Oktober tersebut sebenarnya merupakan suatu peristiwa yang sudah lama
dinantikan oleh pemerintahan Amerika dan Inggris. Selama tiga bulan pasca
peristiwa tersebut Amerika Serikat dan Inggris melacarkan operasi-operasi
rahasia yang bertujuan untuk mendukung pembantaian yang ditujukan pada
orang-orang yang dituduh PKI oleh tentara.[15]
Peristiwa yang terjadi
di Indonesia dan mengubah wajah Indonesia selamanya ini merupakan persitiwa
yang sangat penting bagi situasi Perang Dingin global. Indonesia sendiri
merupakan negara yang ditakuti oleh negara-negara Barat. Bahkan muncul diskusi
tentang kemungkinan memecah Indonesia menjadi negara-negara kecil daripada
negara Indonesia, dengan 100 juta penduduknya berubah menjadi negara komunis.[16]
Amerika memiliki dugaan jika sampai Indonesia berubah haluan menjadi negara
komunis maka seluruh Asia Tenggara bahkan Jepang juga akan jatuh ke tangan
komunis dan hal itu akan sangat merugikan bagi Amerika dan sekutunya. Ketakutan
inilah yang membuat Amerika menyambut dengan gembira dan mendukung tentara Indonesia
dalam melakukan pemusnahan komunisme di Indonesia.
Sedangan Uni Soviet
tidak banyak bersuara setelah peristiwa tersebut terjadi. Uni Soviet dan
sekutunya kala itu, Jerman Timur, memilih untuk tidak banyak bersuara mengenai
pembantaian yang terjadi pada orang-orang yang dianggap komunis kala itu. Hal
yang sebenarnya cukup aneh mengingat banyaknya bantuan yang sudah Uni Soviet
gelontorkan bagi Indonesia untuk mempertahankan ideologi komunis di negara ini.
Salah satu alasan yang mengemukan mengenai apatisme yang dimunculkan oleh Uni
Soviet adalah karena PKI atau komunisme di Indonesia sudah menyimpang dari ideologi
Komunisme yang sesungguhnya yaitu Marxisme-Leninisme. Mereka lebih memilih
komunisme di Indonesia lenyap daripada tumbuh tetapi mengikuti aliran yang
salah, Maosime.
Cina sendiri sebagai
salah satu kiblat dari PKI kala itu tidak terlihat memiliki banyak keterlibatan
dalam peristiwa G30S tersebut. Tapi keberadaan Cina membuat banyaknya orang
yang mengaitkan apa yang dilakukan PKI dengan Cina. Semua yang berkaitan dengan
Cina juga akan dikaitkan dengan komunisme, hal ini juga yang memengaruhi
perlakuan dan kebijakan-kebijakan mengenai orang Cina yang ada di Indonesia.
Menarik menurut saya
adalah pemberitaan dari media-media asing kala itu yang juga dibahas dalam buku
ini, yaitu dari media Prancis dan Australia. Dari media di kedua negara
tersebut dapat dilihat adanya usaha penghilangan informasi mengenai apa yang
sesungguhnya terjadi di Indonesia. Banyak media yang hanya menyiarkan versi
tentara Indonesia mengenai apa yang terjadi. Mereka ikut memberitakan dan
menyiarkan propaganda untuk mendukung pemusnahan PKI. Pemberitaan yang muncul
mengenai pembantaian yang ada di Indonesia muncul dengan sudut pandang orientalisme. Pembantaian ini
digambarkan dilakukan karena adanya perilaku yang tidak beradab dan tidak
rasional pada orang Indonesia. Pelaku digambarkan sebagai ekstrimis atau haus
darah. Selain itu perubahan haluan kebijakan Indonesia yang jadi memihak barat,
membuat pers di negara tersebut jadi mendukung Soeharto. Di media Prancis
Soeharto digambarkan sebagai seorang yang sederhana, tidak haus kekuasaan,
jujur dan tidak mau menerima suap. Selain itu ada anggapan bahwa kondisi
Indonesia akan stabil dan tidak akan memihak lagi ke komunis jika berada di
bawah kepemimpinan Soeharto yang lihai.
Dijelaskan kemudian
bahwa ditemukan adanya permintaan dari pihak Angkatan Darat kepada kedutaan
Australia untuk memberitakan atau tidak memberitakan hal tertentu di media
mereka. Seperti tidak boleh memberitakan mengenai perpecahan di tubuh Angkatan
Darat dan mulai menghilangnya Otoritas Soekarno. Permintaan yang disetujui oleh
pihak otoritas Australia kala itu, bahkan jika media mereka harus tidak jujur
untuk sementara waktu.
Indonesia
saat ini Melihat Peristiwa 1965
Aneh bagi saya saat ini
ketika menyadari ada peristiwa yang memakan korban sebanyak itu tetapi tidak banyak
dibicarakan, bahkan ada kesan bahwa pembantaian yang terjadi itu adalah suatu
hal yang mulia karena membantai sekelompok orang yang kejam dan tidak beragama.
Suatu pandangan yang pernah saya, dan saya yakin banyak orang lain yang
menerima pandangan tersebut sebagai suatu kebenaran. Adalah suatu hal yang
wajar jika orang-orang yang dianggap pernah terlibat dengan PKI kehilangan
hak-haknya sebagai warga negara. Mereka tidak memiliki hak lagi untuk bekerja
sebagai pegawai negeri atau mendapatkan pendidikan yang baik. Hal yang dianggap
sudah sewajarnya terjadi. Sama seperti orang-orang keturunan Cina yang
menganggap sudah sewajarnya mereka mendapatkan perlakuan serupa hanya karena
mereka lahir dalam ras yang salah.
Penerimaan dan tidak
adanya banyak pertanyaan mengenai peristiwa 1965 terebut jelas tidak dapat
dipisahkan dari pemerintahan Orde Baru yang otoriter. Pemerintah dan militer
pada masa itu mempertahankan legitimasinya dengan melakukan represi yang
sedemikian masif dalam seluruh aspek kehidupan. Tampaknya hal ini memang
sengaja diciptakan demikian oleh Amerika serikat. Bradley Simpson dalam bukunya
Economists with Gun, Amerika Serikat,
CIA, dan Munculnya Pembangunan Otoriter Rezim Orde Baru menjelaskan akan
peranan Amerika dalam membentuk rezim otoriter di negara muslim terbesar di
dunia ini. Simpson juga mengeksplorasi salah satu dinamika sentral politik
internasional selama Perang Dingin: munculnya rezim otoriter di dunia ketiga
yang dimaksudkan untuk mendukung program modernisasi yang didukung oleh
militer. Dukungan yang pada akhirnya malah melemahkan demokrasi dan memunculkan
banyaknya korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia di banyak negara dunia
ketiga pasca Perang Dingin.
Simpson juga menjelaskan
bahwa Amerika mendorong Indonesia—dan banyak negara dunia ketiga yang lain di
Asia dan Afrika—untuk membangun perekonomiannya dengan pengawalan dari militer.
Modernisasi yang ditegakkan dengan suatu logika kolonial, di mana semua negara
disamakan perkembangannya seperti perkembangan ekonomi di negara-negara barat.
Penyamarataan yang tidak mempertimbangkan sejarah dan kekhasan dari
negara-negara tersebut. Pengaruh dan invasi dari Amerika terhadap dunia ketiga
yang masih dapat kita lihat sampai sekarang seperti dalam kasus Irak dan
Afghanistan.
Kejadian 30 September
1965, dianggap sebagai suatu kemenangan besar dari Amerika. Suatu negara yang
pada awalnya bersifat sosialis, anti Imperialisme di bawah Soekarno, sekarang
berubah 180o. Di bawah kemepemimpinan Soeharto, komunisme di
Indonesia dihilangkan tanpa jejak. Indonesia juga mulai terbuka kepada
investasi dari luar negeri dan menuju modernisasi dengan pengawalan ketat dari
militer. Amerika pada awalnya menentang pemerintahan Soekarno yang bersifat
otoriter ternyata mendukung pemerintahan Soeharto yang otoriter, bahkan banyak
melakukan pelanggaran hak asasi manusia untuk melanggengkan pemerintahannya.
Hal ini hanya disebabkan pemerintahan Soeharto yang probarat dan mengizinkan
banyaknya modal asing masuk ke Indonesia. Amerika memilih menutup mata dengan korupsi
dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi secara terstruktur dan masif di
Indonesia.
Selain dengan represi
yang masif dan terstruktur oleh militer, Orde Baru juga melakukan propaganda
kepada rakyat Indonesia dengan cara yang lebih terselubung yaitu melalui karya
sastra dan film. Sama seperti anak-anak TK yang sudah diajarkan mengenai
kebejatan PKI dengan mengajarkan lagu Ade Irma Suryani, pemerintah juga
menggnakan produk-produk budaya untuk mempertahankan ketakutan akan komunisme
dan melegitimasi pandangan bahwa komunisme adalah sesuatu yang jahat dan tidak
bertuhan.
Wijaya Herlambang dalam Kekerasan Budaya Pasca 1965 membahas
mengenai hal ini secara mendetail. Salah satu alat propaganda Orde Baru yang
dibahasnya dalam bukunya ini adalah film “Pengkhianatan
G30S/PKI”. Film yang disutradari oleh Arifin C. Noer dan ditulis dalam
bentuk novel oleh Arswendo Atmowiloto ini mendasarkan ceritanya pada narasi
awal yang disusun oleh Nugroho Notosusanto. Dalam narasi-narasi yang diciptakan
oleh Orde Baru tersebut digambarkan dengan begitu bertolak belakang antara
pihak PKI sebagai penjahatnya dengan militer Indonesia sebagai pahlawannya.
Salah satu contoh yang digambarkan oleh Herlambang adalah dalam film Pengkhianatan G30S/PKI terdapat adegan
di mana PKI melakukan penyerangan kepada jemaat yang sedang melakukan shalat
subuh di Kanigoro.[17]
Dalam adegan tersebut digambarkan PKI sebagai sekelompok orang yang kejam dan
tidak bertuhan. Mereka melakukan pembunuhan dan melakukan perusakan pada rumah
ibadat dan Al-Quran. Penggambaran lain adalah dalam novel Arswendo dalam
menggambarkan kondisi di lubang buaya di mana para anggota PKI digambarkan “saling melepaskan nafsu birahi secara
brutal.”[18]
Penggambaran mengenai
PKI sebagai sekelompok setan, orang yang tidak bertuhan, biadab, cabul, dan
bejat seperti inilah yang terus menerus dibangun oleh rezim Orde Baru. Suatu
propaganda yang dilakukan dalam berbagai aspek kehidupan di Indonesia melalui
pembangunan museum-museum dan diorama, film, karya sastra, dan buku pelajaran
di sekolah-sekolah. Penggambaran yang juga banyak dijabarkan oleh media-media
asing pada periode 1965 ini memberikan suatu legitimasi dan pembenaran bahwa
pembunuhan dan pembantaian yang terjadi kepada para pengikut PKI ini adalah
suatu hal yang memang sudah sewajarnya terjadi, atau bahkan sudah sebaiknya
terjadi. Membunuh anggota PKI kala itu bukanlah suatu kekejaman dan pelanggaran
akan hak asasi manusia, membunuh anggota PKI adalah suatu perjuangan dalam
menegakkan kebenaran dan membela negara, bahkan membela Tuhan. Suatu
pengorbanan yang sudah selayaknya ada demi masa depan yang “dirasa” lebih baik.
Di sisi lain, media baik
itu dalam maupun luar negeri, menggambarkan militer sebagai pihak yang berjasa
mengendalikan dan memulihkan keamanan dari kekacauan yang ditimbulkan oleh PKI.
Hal ini terutama terlihat dari bagaimana media Prancis kala itu yang
menggambarkan sosok Soeharto sebagai seorang yang menyelamatkan Indonesia. Ia
digambarkan sebagai seorang yang mempesona, sederhana, dan tidak memunyai
ambisi politik sama sekali. Tidak mempan suap, dan juga seorang muslim yang
moderat. Hal ini sejalan dengan film-film yang muncul di era Orde Baru seperti Janur Kuning, Serangan Fajar, dan Jakarta 66: Sejarah Perintah 11 Maret
yang menggambarkan Soeharto sebagai pahlawan sejati bagi Indonesia.[19] Dan di balik semua penceritaan dan
penggambaran tersebut kita dapat melihat adanya peran negara dan militer dalam
menciptakan dan mengarahkan berita-berita tersebut.
Peranan negara dan
militer ini juga sangat terlihat dalam pemberitaan di Australia pada
tahun-tahun di sekitar 1965. Sebagai negara yang sangat dekat dengan Indonesia,
masyarakat Australia sangat sedikit mengetahui peristiwa yang terjadi di
Indonesia. Padahal terjadi pembantaian yang begitu masif hanya dalam waktu
singkat. Hal ini ternyata tidak terjadi begitu saja, ada berita-berita yang
menggambarkan tentang kejadian yang sebenarnya di Indonesia dengan sengaja
tidak diterbitkan oleh media atau diterbitkan di halaman-halaman belakang,
bahkan tidak ada ulasan lebih lanjut mengenai peristiwa tersebut. Selain itu
pemerintah Australia kala itu juga memunculkan aturan yang membatasi
pemberitaan mengenai keadaan Indonesia pada media-medianya.[20]
Bahkan ada wartawan yang dimutasi ke Saigon dari Jakarta karena memberitakan
tentang pembantaian di Indonesia.[21]
Semua pemberitaan media
dan berbagai produk budaya tersebut itulah yang membentuk pandangan kita
mengenai PKI dan komunisme di Indoesia. Bahkan mungkin tidak hanya pandangan
dari masyarakat Indonesia melainkan juga dunia. Suatu persepsi yang
menormalisai adanya suatu pembantaian pada ratusan ribu manusia hanya karena
mereka dianggap menganut suatu
ideologi tertentu. Saya tidak dalam posisi untuk membenarkan atau menyalahkan
ideologi komunis sebagai pihak yang paling banyak dipersalahkan selama ini. Tetapi
dari apa yang saya temukan dalam buku Bernd Schaefer ternyata semua kekisruhan
ini juga tidak terlalu berhubungan dengan masalah ideologi. Negara seperti Uni
Soviet, Jerman Timur, Cina, dan Amerika sendiri tidak berjuang dan melakukan
peperangan untuk mempertahankan ideologi yang mereka anut. Adanya pandangan
bahwa dunia dibagi secara ketat menurut garis ideologis ternyata sangat sedikit
menemukan relevansinya di dunia nyata ini. Setelah Indonesia memasuki dunia
kapitalisme dan neo-liberalisme sekalipun Uni Soviet dan Jerman Timur tetap
menjalin hubungan dengan Indonesia dengan alasan ekonomi. Mereka juga tidak ada
usaha untuk membela atau melindungi orang-orang PKI yang memiliki ideologi yang
sama dengan mereka. Amerika juga melakukan pembiaran akan pembantaian yang
dilakukan dalam periode 1965 tersebut, bahkan mendorong militer untuk memimpin
Indonesia, walaupun hal itu berakibat pada banyaknya pelanggaran hak asasi manusia
selama rezim militer Orde Baru berkuasa. Semua pembunuhan, pembantaian, dan
kisruh perebutan kekuasaan ini hanyalah suatu usaha untuk mendapatkan
keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya dari kekayaan sumber daya Indonesia.
Penerbitan buku ini merupakan
salah satu upaya dari orang-orang yang peduli dan para pejuang yang
memperjuangkan keadilan bagi banyak korban yang dibunuh maupun disingkirkan
secara tidak adil akibat peristiwa 1965 itu. Usaha yang sama juga dilakukan
oleh Yayasan Tribunal Rakyat Internasional atau The Foundation of the
International People’s Tribunal (IPT) yang mencoba menyuarakan suara para
korban dan meluruskan pemikiran yang salah mengenai PKI yang selama ini
dimunculkan oleh Orde Baru.[22]
Suatu usaha untuk membongkar “kebenaran” versi Orde Baru yang sudah tertanam
selama ini. Usaha untuk menyuarakan orang-orang yang sudah dibunuh secara tidak
adil, dibuang, dan dikucilkan oleh masyarakat. Usaha untuk mencari sebuah
keadilan!
Banyak hal yang masih
tertutup mengenai apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia di masa itu. Tetapi
bagaimanapun juga, Negara bertanggung jawab atas tewasnya sedemikian banyak
orang dan banyak orang lain menderita di pembuangan serta menghadapi stigma
yang berat dari masyarakat karena keterkaitan mereka dengan PKI. Keterkaitan
yang belum tentu benar. Negara juga harus bertanggung jawab atas 30 tahun rezim
militer yang melakukan banyak pelanggaran hak asasi manusia. Pertanggungjawaban
yang bisa terjadi jika negara mau melakukan rekonsiliasi dengan para korban seperti
yang dinyatakan oleh Frantz Magnis-Suseno dalam penutup buku 1965, Indonesia and the World, Indonesia dan
Dunia.
Daftar
Pustaka
Green,
M. 1990. Indonesia, Crisis and
Transformation 1965-1968. Washington, D. C: The Compass Press
Herlambang,
W. 2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965,
Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film. Tangerang:
Marjin Kiri
Muchtar, B. (5 Desember 2014). Tribunal Pembantaian
“PKI” akan Luncurkan Website di Belanda, http://luar-negeri.kompasiana.com/2014/12/05/tribunal-pembantaian-pki-akan-luncurkan-website-di-belanda-708715.html
diunduh pada 29 Desember 2014
Lubis,
T. M. Luka Kemanusiaan yang Belum Sembuh, http://nationalgeographic.co.id/berita/
2014/11/luka-kemanusiaan-yang-belum-sembuh, diunduh pada 29 Desember 2014
Schaefer,
B. (ed.). 2011. 1965 Indonesia and The
World, Indonesia dan Dunia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Simpson,
B. R. 2008. Economists with Guns, Amerika
Serikat, CIA, dan Munculnya Pembangunan Otoriter Rezim Orde Baru. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Film
The Look of Silence, Joshua Oppenheimer. 2014
[1]
Film Senyap, Joshua Oppenheimer
[2]
Bernd Schaefer, 2011. 1965 Indonesia and The World, Indonesia dan Dunia pada
Daftar Penulis.
[3]
Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965, Bagaimana Orde Baru
Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film, hlm 60
[4]
Herlambang, footnote 40, hlm 72
[5]
Schaefer, hlm. 308-309
[6]
Herlambang, hlm 60.
[7]
Schaefer, hlm. 217
[8]
Schaefer, hlm. 330.
[9]
Schaefer, hlm. 195
[10]
Schaefer, hlm. 215
[11]
Schaefer, hlm. 218
[12]
Herlambang, hlm 154
[13]
Schaefer, hlm. 200-201
[14]
Schaefer, hlm. 376
[15]
Schaefer, hlm 241
[16]
Schaefer, hlm 244
[17]
Herlambang, hlm 178
[18]
Arswendo dalam Herlambang, hlm 193
[19]
Herlambang, hlm 174
[20]
Schaefer, hlm 384
[21]
Catatan belakang no.7 dalam Schaefer, hlm. 376.
[22]
Muchtar, B. (5 Desember 2014). Tribunal Pembantaian “PKI” akan Luncurkan
Website di Belanda, http://luar-negeri.kompasiana.com/2014/12/05/tribunal-pembantaian-pki-akan-luncurkan-website-di-belanda-708715.html
diunduh pada 29 Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar