Ini bukan
review, curhat aja soal buku.
Dewi Lestari
selalu menjadi favorit saya. Selalu. Banyak teman saya yang suka sastra nggak
suka dengan Dewi Lestari karena dianggap populer dan tidak nyastra, tapi mau
bagaimanapun saya tetap cinta mati sama penulis satu ini.
Kali ini saya
baru selesai baca Akar. Bukan pembacaan pertama kali sih, tapi saya lupa dengan
kesan pertama saya seperti apa, yang pasti saya mengalami perubahan pikiran.
Dulu Akar bukan salah satu cerita favorit saya, Petir tetap menjadi sesuatu
yang saya suka banget. Cerita tentang cewek nyetrum yang punya warnet itu
rasanya saya banget lah—cewek Cina yang tumbuh di toko, walaupun bukan toko
listrik, dan saya nggak nyetrum—Mpret dan juga komputer 17 yutanya juga membuat
saya tergila-gila. Saya dulu nggak paham dengan kehidupan Bodhi dan Bong yang
anti kemapanan itu.
Setelah
membaca ulang lagi ternyata Bodhi juga sama menariknya dengan Mpret. Saya jadi
memahami beberapa Mas-Mas teman saya yang suka banget sama Akar. Orang-orang
yang juga ikut spirit punk.
Orang-orang yang dalam percakapannya dulu dengan saya adalah menanti kematian.
Sama seperti Bodhi yang juga menanti mati, tapi kematian tidak juga mau
bermurah hati untuk membawanya.
Membaca Akar
juga membuat saya semakin melihat kecanggihan Dee dalam setiap
tulisan-tulisannya. Akar yang terasa begitu pahit dan ironis, berbeda dengan
Elektra yang begitu kebingungan atau Zarah yang galau mencari ayahnya. Dan mari
kita lihat dengan detailnya. Akar melihat dengan mendetail bagaimana petualangan para backpacker di Asia Tenggara dari mata
Bodhi. Bagaimana dia bertualang di Thailand sampai di ladang ganja dan
menyelundup ke Kamboja menginjak-injak ladang ranjau. Pindah ke Partikel, Dee
jadi membicarakan jamur dan tumbuh-tumbuhan. Fotografi alam liar sampai
perjalanan ke Inggris dalam perjalanannya mencari Firas. Cobalah kita rasakan
bagaimana risetnya untuk menuliskan semua data ini. Dan untuk yang satu ini
saya yakin kok kalau Dee nggak ngawur dan akurat pastinya.
Ah… Saya baru
tersadar bahwa nama menjadi bagian penting dalam serial Supernova ini.
Bagaimana Ruben dan Dimas repot negosiasi untuk nama tokoh Ksatria dan Putri,
bagaimana nama Elektra susah disebutkan dengan lidah Sunda, kenapa Bong, Bodhi,
dan kenapa Mpret. Sama juga di nukilan Gelombang yang saya baca, kenapa namanya
Thomas Alfa Edison dan bagaimana orang batak biasa memberi nama anaknya dengan
nama orang-orang terkenal, walaupun pada akhirnya nama tersebut harus menjadi
Ichon di lidah lokal.
Dee selalu
mencari dalam setiap tulisannya. Tokoh-tokohnya adalah orang-orang yang
bertanya akan hidup dan mencari siapa dirinya. Madre adalah kumpulan tulisannya
yang begitu terasa akan pencarian yang tidak juga mencapai ujungnya. Pencarian
yang juga membuat orang-orang di dalamnya percaya akan tangan-tangan yang tidak
kelihatan yang membuat dunia ini berjalan demikian adanya. Bagaimana Bodhi bisa
berjumpa dengan Kell dan dia bisa menghindari ladang ranjau. Tangan yang sama
juga yang mempertemukan Elektra dengan Ibu Sati.
Pencarian yang
menurut saya sama antara Akar dan Alkemis dari Paulo Coleho. Perjalanan yang
membawa seorang pergi jauh dari tempat kelahirannya dan mengikuti ke mana
tangan yang tidak kelihatan ini menuntun. Jika Alkemis adalah anak gembala yang
berjalan dari Andalusia, Spanyol ke Mesir, Akar adalah perjalanan seorang Bodhi
keliling Asia Tenggara. Perjalanan yang pada akhirya mempertemukan orang-orang
ini dengan dirinya, dengan kegelapannya, dan kembali pulang. Entah dengan diri
yang sudah ditemukan, ataukah masih bergelut dalam pencarian yang tiada akhir.
Sama dengan Zarah yang berpetualang sampai ke Inggris dan kembali lagi pulang
mencari keluarganya di Bogor.
Sekali lagi,
Akar menjadi tulisan yang terasa begitu pahit. Setiap kalimatnya adalah ketidakterimaan
Bodhi akan kehidupan yang dia jalani. Suara yang sama yang pernah saya baca
dari blog seorang teman yang sering saya baca—saya jadi ingin merekomendasikan
dia untuk membaca Akar. Dan saya sudah tidak sabar menanti Gelombang bersama
Alfa.
Ini kalimat
yang ngantem dari akar,
“Berhenti menghalang-halangi sinar matahari.
Tidak ada gunanya kabur demi mengulur-ulur masa depan. Karena tidak ada masa
depan. Semuanya sedang terjadi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar