Rabu, 24 September 2014

Dee, Supernova, dan Akar

Ini bukan review, curhat aja soal buku.
Dewi Lestari selalu menjadi favorit saya. Selalu. Banyak teman saya yang suka sastra nggak suka dengan Dewi Lestari karena dianggap populer dan tidak nyastra, tapi mau bagaimanapun saya tetap cinta mati sama penulis satu ini.
Kali ini saya baru selesai baca Akar. Bukan pembacaan pertama kali sih, tapi saya lupa dengan kesan pertama saya seperti apa, yang pasti saya mengalami perubahan pikiran. Dulu Akar bukan salah satu cerita favorit saya, Petir tetap menjadi sesuatu yang saya suka banget. Cerita tentang cewek nyetrum yang punya warnet itu rasanya saya banget lah—cewek Cina yang tumbuh di toko, walaupun bukan toko listrik, dan saya nggak nyetrum—Mpret dan juga komputer 17 yutanya juga membuat saya tergila-gila. Saya dulu nggak paham dengan kehidupan Bodhi dan Bong yang anti kemapanan itu.
Setelah membaca ulang lagi ternyata Bodhi juga sama menariknya dengan Mpret. Saya jadi memahami beberapa Mas-Mas teman saya yang suka banget sama Akar. Orang-orang yang juga ikut spirit punk. Orang-orang yang dalam percakapannya dulu dengan saya adalah menanti kematian. Sama seperti Bodhi yang juga menanti mati, tapi kematian tidak juga mau bermurah hati untuk membawanya.
Membaca Akar juga membuat saya semakin melihat kecanggihan Dee dalam setiap tulisan-tulisannya. Akar yang terasa begitu pahit dan ironis, berbeda dengan Elektra yang begitu kebingungan atau Zarah yang galau mencari ayahnya. Dan mari kita lihat dengan detailnya. Akar melihat dengan mendetail  bagaimana petualangan para backpacker di Asia Tenggara dari mata Bodhi. Bagaimana dia bertualang di Thailand sampai di ladang ganja dan menyelundup ke Kamboja menginjak-injak ladang ranjau. Pindah ke Partikel, Dee jadi membicarakan jamur dan tumbuh-tumbuhan. Fotografi alam liar sampai perjalanan ke Inggris dalam perjalanannya mencari Firas. Cobalah kita rasakan bagaimana risetnya untuk menuliskan semua data ini. Dan untuk yang satu ini saya yakin kok kalau Dee nggak ngawur dan akurat pastinya.
Ah… Saya baru tersadar bahwa nama menjadi bagian penting dalam serial Supernova ini. Bagaimana Ruben dan Dimas repot negosiasi untuk nama tokoh Ksatria dan Putri, bagaimana nama Elektra susah disebutkan dengan lidah Sunda, kenapa Bong, Bodhi, dan kenapa Mpret. Sama juga di nukilan Gelombang yang saya baca, kenapa namanya Thomas Alfa Edison dan bagaimana orang batak biasa memberi nama anaknya dengan nama orang-orang terkenal, walaupun pada akhirnya nama tersebut harus menjadi Ichon di lidah lokal.
Dee selalu mencari dalam setiap tulisannya. Tokoh-tokohnya adalah orang-orang yang bertanya akan hidup dan mencari siapa dirinya. Madre adalah kumpulan tulisannya yang begitu terasa akan pencarian yang tidak juga mencapai ujungnya. Pencarian yang juga membuat orang-orang di dalamnya percaya akan tangan-tangan yang tidak kelihatan yang membuat dunia ini berjalan demikian adanya. Bagaimana Bodhi bisa berjumpa dengan Kell dan dia bisa menghindari ladang ranjau. Tangan yang sama juga yang mempertemukan Elektra dengan Ibu Sati.
Pencarian yang menurut saya sama antara Akar dan Alkemis dari Paulo Coleho. Perjalanan yang membawa seorang pergi jauh dari tempat kelahirannya dan mengikuti ke mana tangan yang tidak kelihatan ini menuntun. Jika Alkemis adalah anak gembala yang berjalan dari Andalusia, Spanyol ke Mesir, Akar adalah perjalanan seorang Bodhi keliling Asia Tenggara. Perjalanan yang pada akhirya mempertemukan orang-orang ini dengan dirinya, dengan kegelapannya, dan kembali pulang. Entah dengan diri yang sudah ditemukan, ataukah masih bergelut dalam pencarian yang tiada akhir. Sama dengan Zarah yang berpetualang sampai ke Inggris dan kembali lagi pulang mencari keluarganya di Bogor.
Sekali lagi, Akar menjadi tulisan yang terasa begitu pahit. Setiap kalimatnya adalah ketidakterimaan Bodhi akan kehidupan yang dia jalani. Suara yang sama yang pernah saya baca dari blog seorang teman yang sering saya baca—saya jadi ingin merekomendasikan dia untuk membaca Akar. Dan saya sudah tidak sabar menanti Gelombang bersama Alfa.
Ini kalimat yang ngantem dari akar,

“Berhenti menghalang-halangi sinar matahari. Tidak ada gunanya kabur demi mengulur-ulur masa depan. Karena tidak ada masa depan. Semuanya sedang terjadi.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar